Sektor Properti Mendapatkan Impuls Baru
Sektor Properti Mendapatkan Impuls Baru
Vaksin yang mulai didistribusikan, pembatasan aktivitas dan kegiatan masyarakat yang mulai direlaksasi, serta program pemulihan ekonomi nasional adalah bagian dari langkah besar untuk keluar dari jurang resesi. Lantas bagaimana tanggapan pelaku usaha terhadap relaksasi yang diberikan Bank Indonesia?
Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida pun menyambut gembira kebijakan BI tersebut. Menurutnya, relaksasi itu citralandtidarmalang.com memberi angin segar bagi sektor properti. “Ini membuat industri properti bergairah sehingga terjadi peningkatan bersama-sama dengan sektor lainnya,” ujarnya.
Ketua Umum DPP REI mengapresiasi kebijakan BI tersebut karena juga sejalan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagaimana diketahui, OJK merespons relaksasi DP KPR 0 persen dengan penurunan bobot risiko kredit (ATMR).
ATMR adalah Aset Tertimbang Menurut Risiko, yang dikenal sebagai risk weighted asset (RWA). Sesuai namanya ATMR adalah jumlah aset sebuah bank berdasarkan profil risiko masing-masing aset tersebut.
Kebijakan terkait bobot risiko ATMR kredit beragun rumah tinggal yang granular dan ringan tergantung pada rasio loan to value (LTV) yaitu, uang muka 0-30 persen (LTV≥70 persen) ATMR 35 persen, uang muka 30-50 persen (LTV 50-70 persen) ATMR 25 persen, dan uang muka ≥ 50 persen (LTV ≤ 50%) ATMR 20 persen.
Dengan penurunan ATMR, kemampuan bank untuk menyalurkan kredit akan semakin meningkat lantaran modal yang dibutuhkan menjadi lebih rendah. Sebagaimana gambaran lesunya sektor properti, penyaluran KPR sepanjang 2020 menurun hingga 60 persen.
Hal ini terjadi karena perbankan memperketat penyaluran KPR kepada kreditor. Oleh karenanya, kebijakan OJK tersebut diharapkan bisa mendukung minat perbankan untuk menyalurkan kredit.
Meski begitu, Totok belum bisa mengukur seberapa besar dampak relaksasi DP kepada peningkatan penjualan rumah. Sebab, ada sejumlah faktor lain yang menentukan, seperti perpajakan.
Dia berharap, pemerintah juga bisa memberikan insentif fiskal yang mendukung penjualan rumah. “Besaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) harusnya disamakan dengan rumah sederhana bersubsidi. Kami harap faktor pengurangnya rumah sederhana sehingga masyarakat tidak bayar,” ujar Totok.
Selain itu, ia menilai, perlunya kemudahan perizinan untuk rumah sederhana. Hal ini agar kuota pembangunan rumah sederhana dapat dipenuhi.
Terlepas dari semua itu, kebijakan BI kepada sektor properti tentu sangat bisa dipahami. Pasalnya, sektor ini merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Bila usaha mereka bergerak, harapannya konsumsi masyarakat pun ikut bergerak.