Mleset dan Nggandhul: Ruang Bunyi dan Sikap Kultural Masyarakat Jawa
Mleset dan Nggandhul: Ruang Bunyi dan Sikap Kultural Masyarakat Jawa
Ketika kita mendengarkan berbagai musik di berbagai daerah di nusantara, kita akan menemui berbagai keunikan di masing-masing musik itu. Misalnya, kita mendengarkan gamelan Bali. Selain rampak tabuhannya, kita juga akan mendengarkan permainan volume tabuhan: peristiwa ini disebut ngumbang-ngisep. Kemudian, ketika kita mendengarkan musik tarling ataupun kecapi dan suling sunda. Kesan yang akan terterima ialah dayu-mendayu.
Di setiap daerah, tentu akan melahirkan estetika bunyi masing-masing seperti yang terpapar. Apalagi, nusantara memiliki berbagai visit us musik tradisional yang beraneka ragam. Hal ini tentu menjadi kebanggaan tersendiri untuk masyarakatnya. Salah satu estetika yang menarik bagi saya ialah mleset dan nggandhul dalam karawitan, khususnya karawitan gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta.
Dalam perjalanannya, terdapat perbedaan gaya bermain antara karawitan Surakarta dan karawitan Yogyakarta. Namun, dalam hal ini; peristiwa mleset dan nggandhul sama-sama ditemukan di dalam ke dua gaya di atas. Mleset dan nggandhul merupakan sebuah tabuhan yang tidak tepat pada beat-nya. Sedangkan, instrument yang melakukannya ialah gong, kempul, dan juga kenong: gong dan kempul yang berperan dalam nggandhul, kenong yang berperan dalam mleset.
Ruang Bunyi
Secara awam, ketika keseluruhan instrumen dalam karawitan ditabuh, tentu suara yang terdengar ialah bunyi ansambel secara holistik. Belum tentu kita dapat mencermati bunyi secara minostik. Misalnya, gamelan pencu; bagi sebagian orang, tentu memilahkan antara bunyi bonang barung, bonang penerus, kenong, dan kethuk-kempyang akan merasa kesulitan. Meskipun, frekuensi bunyi dari setiap instrumen berbeda secara parsial, namun bunyi dalam gamelan cenderung tumpang-tindih (karena banyaknya instrumen yang ditabuh secara bersamaan). Atas dasar itulah kesulitan ini diterka.
Syahdan, peristiwa mleset dan nggandhul menjadi sebuah bunyi yang berbeda dalam karawitan. Tidak presisinya tabuhan, menjadikan bunyi kenong, kempul, dan gong mudah untuk diterka. Ketidak-presisian tabuhan dalam peristiwa mleset dan nggandhul justru menjadi sebuah ruang bunyi bagi kenong, kempul, dan gong untuk menunjukkan keberadaannya.
Selain itu, khususnya pada peristiwa nggandhul; selain menjadi ruang bunyi untuk kempul dan gong, nggandhul juga menjadi sebuah pelebaran bunyi sekaligus “jembatan” bunyi repertoar sajian. Pada saat nggandhul, tabuhan dari kempul atau gong akan terlambat dari ketukan gendhing. Dengan begitu, bunyi yang dihasilkan akan lebih panjang dari bunyi instrumen yang lain.
Lebih panjangnya bunyi gong ini menjadikan kalimat atau gatra dalam gendhing lebih lebar. Meskipun, jumlah ketuknya sama, namun bunyi gong memperlebarkannya. Pasalnya, kempul atau gong merupakan instrumen dengan frekuensi bunyi rendah, sehingga bunyinya mampu “memangku” keseluruhan bunyi yang ada. Dengan begitu, bunyi panjang yang ada dalam gong ini mampu menggema serta mengantarkan ke gatra selanjutnya. Apalagi, ketika gong ditabuh nggandhul tentu gaungnya akan lebih panjang lagi di gatra berikutnya.
Tidak hanya mempu memperlebar, namun juga menjadi penjembatan dari gatra satu ke gatra berikutnya. Dengan adanya jembatan ini, kiranya sajian repertoar menjadi lebih menyatu dan salin terpaut. Meskipun akan tetap terkesan tumpang-tindih frekuensi bunyinya, namun awal bunyi nggandhul menjadi pertanda tersendiri dalam sajian gendhing karawitan. Hal ini menjadi estetika tersendiri dalam karawitan gaya Surakarta maupun Yogyakarta.